Thursday, March 19, 2009

Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009

Musim Kampanye telah tiba. Selama 21 hari sejak 16 Maret hingga 5 April 2009 akan terjadi pengerahan masa dalam jumlah besar. Kampanye yang disebut kampanye dalam bentuk rapat umum itu dipastikan akan menyedot massa pendukung parpol dan terjadi pengerahan massa.

Dari pengalaman yang terjadi, pengerahan massa yang tidak terkendali menjadi penyebab terjadinya kerusuhan dan bentrok antar pendukung. Sejumlah pihak masih khawatir aksi-aksi kekerasan dan kerusuhan masih mewarnai pelaksanaan kampanye Pemilu 2009. Kekhawatiran itu tidak berlebihan jika kita melihat upaya yang belum optimal dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terlebih partai politik sebagai peserta pemilu. Mungkinkah tawuran antar massa pendukung parpol masih terjadi? Sangat mungkin terjadi, jika kondisi yang terjadi saat ini, dimana pendidikan politik terhadap masyarakat masih minim sekali.

Berkaca dari pilkada di sejumlah daerah dalam kutun waktu satu tahun terakhir, kita bisa menyimpulkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi yang bersih masih sangat rendah sekali. Bisa jadi, karena saat kampanye, suguhan yang diberikan parpol kepada para pendukungnya bukanlah mendengar visi, misi dan program calon tetapi konser musik yang kebanyakan berujung pada bentrok.

Belum lagi, pengerahan massa yang terkonsentrasi di satu titik lokasi untuk menghadiri rapat umum, biasanya tidak langsung membubarkan diri pulang ke rumah masing masing.Kebanyakan berkonvoi baik ketika akan bernagkat maupun saat pulang. Bila bertemu, massa yang pro dan kontra sudah bisa dipastikan akan saling ejek, kemudian berlanjut pada bentrok fisik. Sayangnya elit parpol bersikap bahwa persoalan keamanan adalah tanggungjawab polisi selaku aparat keamanan.

Jeffrey Winters, pengamat politik dari Northwestern University, mengatakan dari pengamatannya terhadap pelaksanaan pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa partai politik minim dalam memberikan pendidikan politik pada konstituennya. Dari seluruh kampanye partai politik yang telah didatangi pada Pemilu 2004, hampir sebagaian besar hanya menyuguhkan pertunjukan musik dangdut. Kalau pun ada orasi dari elit parpol itu hanya berupa lip service mengenai korupsi dan hanya janji belaka. Secara psikologis, Jeffrey mengatakan jika keadaan ini terus terjadi maka akan membuat rakyat makin apatis terhadap pentingnya pemilu untuk sebuah proses demokrasi yang ideal. Selain itu, antusiasme rakyat terhadap pemilu juga akan berkurang. Efek lebih besar lagi adalah kualitas pemilu makin lama akan menjadi berkurang yang dapat berakibat pada makin jauhnya pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara seperti yang dicita-citakan Pancasila sebagai dasar negara dan Pembukaan UUD’45 sebagai pedoman hidup bernegara.

Semua Bergantung Parpol

Deklarasi damai yang sudah digaungkan sejak enam bulan lalu, tidak menjadi jaminan kampenye akan berlangsung aman, tertib dan damai. Sportivitas berkompetisi ala parpol sudah seharusnya dikembangkan oleh pesertanya sendiri partai politik, bukan kepada KPU, polisi dan pemerintah. Kesadaran ini yang tampaknya harus benar–benar di tumbuhkan oleh parpol baik di tingkat elit di tingkat akan bawah (grass root).

Satu hal penting adalah kepentingan, apapun tujuannya, harus disandarkan kepada kepentingan orang banyak, bukan kelompok apalagi individu. Kalau semua kader parpol bisa memaknai itu, maka proses apapun yang dilakukan akan dapat berlansung dengan penuh kesejukan, saling horamt dan menghargai sekalipun kepada lawan, dan dapat memahami bahwa apa yang dilakoni hanya sebuah proses kompetisi yang menghasilkan dua hal berbeda, kalah dan menang.

Bookmarks

Add to Technorati Favorites